MARSIDI MENERANGI MENGKANG


Marsidi Menerangi Mengkang
Oleh: Budi Susilo
PERJALANAN jauh yang ku tempuh dari Kota Manado ke Kotamobagu, Sabtu (26/5/2012) lalu, melalui jalur darat sekitar 4 jam akhirnya dapat ku syukuri. 

Aku dapat tiba dengan selamat, berterima kasih banyak kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan keselamatan perjalanan. Amin ya robal alamin.  

Ya, ke Kotamobagu, plesiran ke Desa Mengkang, Kecamatan Lolayan, Kabupaten Bolaangmongondow, Provinsi Sulawesi Utara bukan tanpa tujuan. 

Mau bertemu dengan seorang kepala desa yang menjadi inisiator pemenuhan tenaga listrik secara mandiri di Desa Mengkang. Kepala desa yang dimaksud bernama Marsidi Kadengkang.

Pergi ke desa ini sudah jauh-jauh hari ku rencanakan. Saat tiba di lokasi rasanya puas, bukan lagi pepesan kosong yang sebatas mimpi. 

Berangkat sekitar jam 3 pagi dari Manado dan tiba di Kotamobagu sekitar jam 7 pagi menjadi pengalaman baru, dapat menikmati indahnya suasana Kotamobagu yang masih bernuansa pedesaan. 
Jembatan gantung menuju ke Desa Mengkang (photo by budi susilo)

Menginjakan tanah Kotamobagu Desa Mengkang jadi kebanggan tersendiri, yang pastinya akan berkesan dan akan jadi bahan sumber bercerita ke anak cucu ku nanti. Amin ya robal alamin.

Sebelum berlanjut ke Desa Mengkang, sejenak ku beristirahat di tempat teman terbaik ku, Edi Sukasah, di Jalan Arif Rahman Hakim, daerah yang masih berdekatan dengan pusat Kotamobagu.

Bersinggah di tempat Edi, bercerita banyak mengenai seluk-beluk Kotamobagu. Maklumlah temanku dari Jawa Barat ini sudah hampir satu tahun lebih bertugas sebagai seorang jurnalis di daerah Kotamobagu dan sekitarnya.

Berbekal nomor handphone Kepala Desa Mengkang, aku mencoba menghubunginya. Berjanjian untuk bertemu, dan rupanya Kepala Desa Mengkang bertempatinggal di Desa Kepondakan Satu, yang jaraknya dekat dari kediaman temanku Edi, yang hanya sekitar 25 menit untuk tiba di Kepondakan Satu.   

“Saya kebetulan lagi tinggal disini. Kita ketemu disini saja, lalu kita nanti bareng-bareng ke lokasi Desa Mengkang,” tutur Marsidi melalui telepon genggamnya.

Tanpa berpikir panjang, aku pun bergegas menuju daerah Desa Kepondakan Satu memakai kendaraan umum yang oleh orang lokal sering disebut becak motor atau bentor. 

Kendaraan yang merakyat ini cukup nyaman, kita duduk di bagian depan dapat puas melihat suasana geliat aktivitas orang-orang.

Singkat cerita, setibanya di kediaman Marsidi di Kepondakan Satu, tanpa panjang lebar pak Marsidi langsung mengajaku ke lokasi Desa Mengkang, memakai mobil Kijang miliknya yang merah tua.  

“Perjalanan ke Desa Mengkang kita butuh waktu sekitar satu jam. Walau pun jauh, tapi perjalanannya asik, tidak membosankan,” tandas Marsidi.

Berangkatlah kami menuju ke lokasi. Di perjalanan tidak ada halangan macet, maklumlah suasana pedesaan bila berbicara jumlah kendaraan bermotor, tidak terlalu padat. 

Dalam perjalanan ku melihat, sebagian besar bangunan rumah warga setempat bermodel serupa, ada jendela di bagian kanan dan kirinya, serta pintunya pada bagian tengah rumah. 
Bahan bangunanya pun kebanyakan dari material kayu, tidak banyak yang berbahan beton. Mungkin alamnya menyediakan banyak kayu-kayu, wajar model pemukiman warganya banyak berfitur kayu.

Jalan menuju Desa Mengkang menantang, banyak rintang menghadang, namun mobil yang dikendarai pak Marsidi terus melaju, tetap ditantang meski ganasnya alam panjang membentang. 

Jalan berkelok-kelok bila tak stabil mengendarai bisa celaka. Belum lagi  ditambah beberapa jalur aspal yang sudah berlubang, berkerikil dan berlumpur, rasanya tingkat kehati-hatian menjadi modal utama dalam mengendarai kendaraan di medan menuju Desa Mengkang.

Yang lebih memacu adrenalin ketika menyebrangi beberapa anak sungai berair jernih. Pak Marsidi dengan gagah beraninya melajukan mobil di lintasan yang tidak wajar. 

Ia mencoba menyebrang lewati anak sungai yang dangkal dan berkerikil. Jika dihitung-hitung kedalaman sungai itu hanya seukuran mata kaki orang dewasa. “Ya, saya sih sudah biasa lewat jalan seperti ini,” anggap entangnya pak Marsidi. 

Sekitar satu jam lebih kami baru bisa tiba di lokasi Desa Mengkang. Setelah berjuang merasakan perjalanan jauh dan menantang, akhirnya dapat menghirup udara segar Desa Mengkang. 
Lingkungan Desa Mengkang yang asri dan bersih (photo by budi susilo)

Ku perhatikan desa ini terbilang sudah ideal, ada bangunan sekolah dari  Taman Kanak-kanak sampai Sekolah Tingkat Pertama (SMP). 

Sekeliling alam desanya dihiasi beberapa bukit-bukit hijau yang rindang. “Desa ini berdekatan dengan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone,” ungkap Pak Marsidi.

Setibanya di Desa Mengkang, sekitar jam 3 sore, Pak Marsidi langsung mengarahkan ku ke lokasi pembangkit listrik tenaga air yang lokasinya tidak jauh dari gapura masuk Desa Mengkang, yang berjarak sekitar 150 meter.   

“Kalau siang sampai sore jam segini, kincir air (sumber tenaga listrik) tidak kita putar. Kita tutup bendungan aliran sungainya,” tutur Pak Marsidi.

Mendengar penjelasan itu, rasa penasaran ku memuncak. Apa sebabnya, siang sampai sore, kincir air tidak dioperasikan. Bagaimana bisa warga merasakan aliran listrik ?, bukannya kincir air itu dibuat untuk dipakai buat pemenuhan energi listrik. 
Secara lugas, pak Marsidi menjelaskan, di Desa Mengkang ada aturan dalam penggunaan aliran listrik. “Sengaja kami tidak operasikan di siang sampai sore,” tuturnya.

Kata pria beranak dua ini, tidak dioperasikannya kincir air pada saat siang sampai sore karena bukan pertimbangan penghematan, apalagi karena alasan persyaratan ilmu-ilmu hitam. 
Marsidi perlihatkan kincir air sumber tenaga listrik (photo by budi susilo)


Menurutnya, atas dasar kesepakatan bersama, kincir air dinyalakan saat malam tiba hingga jelang pagi. Karena di jam-jam seperti ini banyak warga yang meluangkan waktunya di rumah. Berbeda dengan jam siang sampai sore, banyak beraktivitas di luar rumah. 

“Di siang sampai sore kita matikan, biar orang keluar rumah. Pergi mencari nafkah, berkebun, bertani di luar rumah. 

Coba kalau kita tidak matikan, pasti akan banyak orang bermalas-malasan pergi bertani. Nanti lebih banyak memilih di dalam rumah menonton televisi,” kata pak Marsidi.

Tapi terkhusus ada kedatangan ku, pak Marsidi berbaik hati menghidupkan kincir airnya. Ia menunjukan cara menghidupkan kincir kepada ku, dengan cara membuka bendungan air kali.
Ketika dibuka bendungan oleh pak Marsidi, genangan air mengalir deras di saluran khusus yang dibuat sendiri. 

Ia membuat saluran air model bertingkat. Yang pertama bagian dasar untuk aliran air normal, bila air mengalir di saluran ini kincir tidak hidup. 
Sedangkan saluran air di atasnya dirancang untuk mengalirkan air ke kincir air hingga membuat kincir berputar.  

Panjang saluran air dari bendungan ke kincir sekitar 30 meter dengan tingkat kemiringan 30 derajat. Sumber air berasal dari hutan lindung Taman nasional Bogani Nani Wartabone, tak heran air yang mengalir di saluran kincir air mikro hidro jernih, bersih, menyegarkan.  

“Selama ada air melimpah kita tidak akan mati lampu. Kita tidak pernah merasakan listrik mati kecuali kalau kalinya kering tidak ada air, kita tidak bisa berbuat apa-apa,” ujarnya. 

Aliran air sungai sebagai sumber penggerak kincir (photo by budi susilo)

Karenanya, melihat situasi itu, tentu menjadi pelajaran penting bagi warga setempat untuk tetap menjaga, merawat, mencintai lingkungan asri Desa Mengkang dan sekitarnya. 

Logikanya, alam dirusak warga, maka alam pun akan memberi pelajaran berupa penderitaan hidup. “Mau tidak mau warga harus wajib menjaga aliran sungai dan juga kelestarian alam di Taman Nasional,” tegas Marsidi.

Sejarah Desa Mengkang, tutur Marsidi, dahulu kala bukanlah tempat pemukiman penduduk. Waktu itu di sekitar tahun 1970-an masih berupa lahan perkebunan rakyat.

Namun jaman berkembang, pertumbuhan penduduk mendongkrak di daerah Kecamatan Lolayan membuat beberapa warga mencari tempat tinggal yang nyaman, berdekatan dengan sumber air.
“Dulu itu ada satu dua warga yang tinggal di lahan perkebunan ini, termasuk saya. Waktu itu belum bisa dikatakan sebagai desa,” ungkapnya.

Baru ditetapkan sebagai Desa Mengkang saat memasuki Januari tahun 2006 kala ada pemekaran daerah. 

Uforia otonomi daerah yang seluas-luasnya pasca reformasi 1998, membuat daerah ini harus mengubah menjadi desa, yang terdapat sistem administrasi pemerintahan. 

Tidak heran, tutur Marsidi, saat akan ditetapkan jadi desa wilayah ini dilengkapi rumah ibadah umum, sekolah dan kantor pemerintah tingkat desa. 

“Saya dipercaya jadi kepala desa,” kata Marsidi yang merupakan kelahiran 3 September 1957 ini. 

Beban tanggungjawab inilah yang kemudian membuat hati nuraninya terbangun untuk memajukan desanya yang baru saja lahir. 

Berlatarbelakang pendidikan Teknik Listrik, maka pak Marsidi pun memiliki gagasan pemenuhan kebutuhan listrik. 
“Jaman sekarang orang itu pasti butuh listrik. Kalau ada listrik kita bisa lakukan apa saja, tanpa ada listrik rasanya bagai hidup derita,” ujarnya.

Di awal menjabat, pernah dapat bantuan dari pemerintah kota. Berupa pemberian mesin genset sumber tenaga listrik 200 Watt. Tapi pikir pak Marsidi, ini seakan sia-sia, tidak selesaikan persoalan pemenuhan kebutuhan listrik. 

Mesin dinamo penghasil sumber listrik rakitan Marsidi (photo by budi susilo)

Kalau memakai mesin pemberian dari pemerintah tentu akan menambah beban masyarakat desa itu sendiri. Untuk penuhi kebutuhan makan dan sandang saja, warga Desa Mengkang hanya seadanya, hidup dengan sangat sederhana. 
 
Rasanya tidak mungkin harus beli bensin, dipakai untuk menghidupkan mesin genset pemberian dari pemerintah.

“Nyalakan mesin genset perlu bensin. Tidak ada bensin tidak akan hidup, warga tidak bisa nikmati aliran listrik. Lagian juga sumber energi listrik dari genset tidak ramah lingkungan, makanya mesinnya tidak dipakai, sayang sekali kan,” prihatinnya.

Olah pikir, putar sana-sini menguras otak, pak Marsidi mencoba cari jalan keluar, ingin temukan ide bagaimana dapat memenuhi energi listrik yang efisen tapi efektif secara maksimal. 

Bekal modal ilmu di bangku sekolahnya di STM (Sekolah Teknik Mesin) Kota Manado, akhirnya ia temukan gagasan pemenuhan energi listrik dari dinamo, mengubah tenaga gerak menjadi energi listrik. 

“Saya lihat-lihat alam Desa Mengkang juga mendukung untuk dibuat sumber listrik. Yah, akhirnya inisiatif saya buat mikro hidro, tenaga listrik yang sumbernya dari aliran sungai, pakai kincir air,” katanya.  

Dicarilah dinamo, ia pun belanja ke pusat kota, membeli dinamo berdaya 3 ribu Watt. Tanpa berpikir panjang, pak Marsidi enggan mengemis dalam memperoleh dinamo yang diinginkannya. “Beli pakai uang sendiri. Dapat mesin dinamo 3 ribu Watt,” tuturnya. 

Pikirnya, membeli mesin dinamo 3 ribu Watt sudah cukup untuk mengaliri listrik di Desa Mengkang. Pasalnya, warga yang tinggal di daerah ini tidak banyak, hanya berkisar 20 kepala keluarga. “Pakai dinamo tidak perlu pakai bensin,” katanya.

Tidak seperti mudahnya membalikan telapak tangan, pelaksanaan ide mikro hidro pak Marsidi butuh waktu dan tenaga, butuh perjuangan ekstra keras dalam mewujudkannya. 
Apalagi sebelum pembuatan, ada beberapa orang merasa pesimis, mencibir, bahwa ide mikro hidro pak Marsidi itu hanyalah mimpi, seperti orang yang berimajinasi pergi ke langit ketujuh. 

“Dulu ada yang tidak yakin. Masih ada yang mempertanyakan, bagaimana mungkin dengan kemiringan aliran sungai 30 derajat bisa menggerakan mesin dinamo. 

Tempatnya tidak cocok untuk pembangkit listrik tenaga air,” tuturnya, mengulangi perkataan orang-orang yang dirasa pesimis.

Tanpa pengaruh akan hal-hal itu, pak Marsidi tetap jalan, sebab di dalam dirinya menyimpan prinsip kuat. 

Keyakinan dan keteguhan besar adalah modal terpenting pak Marsidi dalam melanjutkan gagasan mikro hidronya. “Buat saya kerja itu pakai otak, tidak hanya sekedar pakai otot,” tegasnya.

Baginya, bekerja itu jangan terlalu banyak di perkataan, yang terucap dari mulut. Ia menganjurkan, bekerja itu, harusnya yang lebih banyak dipamerkan adalah tindakannya. 

Perbuatan harus diutamakan, sebagai pembuktian kalau orang itu memiliki prinsip jati diri yang kokoh. 
“Saya punya tekad untuk berbuat. Tidak sekedar perkataan saja, saya berani berbuat untuk membuktikan ide-ide saya,” kata Marsidi.

Dihitung-hitung, tak terhingga hitungan kegagalan pak Marsidi dalam menggarap pembangkit listrik tenaga air Desa Mengkang. “Ada puluhan kali saya gagal. Saya coba terus sampai dapat,” ujarnya. 

Ia mengungkapkan, hal yang tersulit ia lakukan ketika mencari titik posisi perputaran roda kincir. Kadang air sudah mengalir, mengenai roda kincir tapi  tidak bisa bergerak. “Saya geser-geser ke kanan, kadang juga ke kiri, tapi belum bisa juga,” ungkapnya. 

Banyak jalan menuju Roma, pak Marsidi tidak putus asa. Buatnya, kegagalan yang ia alami semakin membuat rasa penasaran dirinya besar, memecut semangat kerjanya. Berhari-hari terus berpikir, memandangi lokasi pembangkit, berharap ada jalan keluar. 


Kincir bergerak berputar oleh arus air sungai yang deras (photo by budi susilo)

 “Saya coba juga utak-atik ukuran jari-jari kincir. Mencari ukuran jari-jari kincir yang pas. Juga mengukur saluran aliran air biar pas. Berulang-ulang terus saya lakukan,” katanya.

Ibarat pepatah, berakit-rakit dahulu, berenang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. 

Ya akhirnya, pak Marsidi senangnya bukan kepalang, berhasil temukan titik perputaran kincir. Aliran air sungai yang deras dengan debit yang pas, kincir air dapat berputar, mampu menggerakan mesin dinamo.  
“Saat berhasil kita nyalakan mesin dinamo, saya sangat senang. Ide saya akhirnya bisa dibuktikan. Rumah warga yang saya pasang lampu bohlam secara mengejutkan dapat nyala, ini pembuktian bahwa telah sukses,” ungkapnya dengan penuh rasa bangga.

Dari sinilah kemudian ia lanjutkan dengan perluasan kabel litrik agar beberapa rumah yang ada di Desa Mengkang mampu merasakan secara merata. Kala itu baru sekitar 20 kepala keluarga yang menetap di Desa Mengkang. 
“Saya dibantu warga memasang instalasi listrik ke beberapa rumah. Kurang lebih waktu itu panjang kabelnya sampai 2 ribu meter,” urainya.

Rincian harganya, kabel listrik waktu itu per roll Rp 250 ribu. Untuk per roll, panjang kabel berukuran 100 meter. 

Bila kabel yang dibutuhkan sekitar 2 ribu meter, maka pak Marsidi harus mengeluarkan kocek sampai Rp 5 juta.  

Niat mengabdi sebagai kepala desa, pak Marsidi mengeluarkan uang sakunya sendiri untuk belanja peralatan kabel listrik. Tidak mengandalkan dari uang kas pemerintah daerah, apalagi sampai harus mengajukan proposal ke lembaga-lembaga sosial. 
“Untungnya saya masih punya uang lebih. Saya buat pakai beli kabel saja. Kalau menunggu bantuan pasti prosesnya lama, padahal warga sudah mendesak sekali butuh aliran listrik,” tandasnya.

Singkat cerita, memasuki 2008, kondisi Desa Mengkang terus ramai, banyak warga pendatang untuk bertempat tinggal di Desa Mengkang. 

Beberapa warga disekitarnya, ada yang memilih Desa Mengkang sebagai hunian. Bertambahlah jumlah penduduknya, dari 20 kepala keluarga sekarang sudah mencapai 62 kepala keluarga.

Melihat kondisi itu, pak Marsidi tidak berpangku tangan. Walau sudah masuk umur tiga tahunan sebagai kepala desa, naluri mengabdi pak Marsidi masih hidup menggelora. 
“Penduduk tambah banyak. Listrik tidak akan tercukupi kalau masih pakai mesin 3 ribu Watt. Satu-satunya jalan harus ada tambah daya dan jaringan kabel listrik,” katanya.

Coba berpikir, pak Marsidi pun bertukarpendapat bersama istrinya. “Apa kita beli mesin lagi ya, yang lebih bagus dari sekarang,” ujarnya mengulangi perkataannya ke sang istri. Namun istrinya pun rupanya setuju atas pendapat pak Marsid.

“Bagaimana kalau kita beli baru saja lagi, pakai uang kita sendiri, apakah kamu juga setuju,” tuturnya ke sang istri kala itu. 
Dan hasilnya istri pun sepakat, rela bila membeli mesin baru pakai uang sendiri. “Istri saya juga menyetujui pakai uang sendiri. Ya, dari mulai ini, kemudian saya beli mesin yang baru,” ungkapnya.

Pak Marsidi masih ingat betul, uang yang dikeluarkannya untuk membeli mesin baru mencapai Rp 3.250.000. 

Mesin yang ia beli itu, mesin dinamo berkapasitas 10 ribu Watt, lebih baik dari mesin sebelumnya yang hanya 3 ribu Watt.

“Saya yakin beli yang 10 ribu Watt bisa penuhi kebutuhan listrik warga secara maksimal,” optimisnya kala itu.

Lalu apakah pak Marsidi termasuk orang yang terkaya di desanya, memiliki harta melimah hingga mau berkorban membeli mesin dinamo 10 ribu Watt. 

Ia mengaku, secara ekonomi termasuk golongan orang yang masuk dalam ekonomi menengah, bukan hartawan. 

Hidup sederhana, memenuhi kebutuhan hidupnya dengan apa adanya. “Saya mau kebutuhan rakyat, bisa dipenuhi. 

Kepala desa harus bisa melindungi, memberikan rasa aman nyaman ke rakyatnya. Saya hanya mengabdi. Rakyat senang, saya juga ikut senang,” tutur pak Marsidi.

Uang yang dipakai untuk belanja mesin dinamo ungkap pak Marsidi, berasal dari tabungan yang dimiliki olehnya dan seorang istri tercintanya. 

Uang tabungan tersebut merupakan penghasilan dari panen kopra miliknya. “Ada uang simpanan dari hasil kopra saya pakai, buat beli mesin dinamo,” katanya. 

Begitu pun tambahan biaya untuk instalasi kabel listrik, diambil dari uang tabungannya. “Waktu ada tambahan kabel listrik, saya juga keluar uang sendiri,” ungkap pria berambut putih ini.

Ada tujuan mulia, pak Marsidi membuat pembangkit listrik tenaga air. Ia niatnya bukan untuk mencari kekayaan, apalagi mengejar popularitas semata. 

Semua yang dilakukannya itu berkaitan dengan amanah yang diembannya sebagai kepala desa, warga masyarakat telah mempercayainya sebagai pemimpin desa. 

Suasana komplek kincir air di Desa Mengkang (photo by budi susilo)

Berangkat dari inilah, ia tidak mau mengingkari, mencederai amanah yang diberikan oleh warga Desa Mengkang ke dirinya. 

“Waktu pembangkit sudah jadi, saya tidak ada pikiran satu pun, untuk mengkomersilkan ke warga saya. Bagi saya pembangkit listrik milik semua, hasil kerja semua warga, makanya dinikmatinya juga bersama-sama,” tuturnya.

Jalan tengahnya, pak Marsidi mengumpulkan warga, melakukan musyawarah untuk mencapai kata mufakat dalam pengelolaan pembangkit listrik tenaga air Desa Mengkang. 

Menurutnya, pembangkit listrik buatannya tidak hanya sekedar dipakai, dimanfaatkan begitu saja, tetapi harus butuh perawatan juga. 
“Pakai mesin dinamo butuh perawatan. Daya tahan kincir airnya juga ada masanya, pasti akan rusak juga,” urainya.

Karena itu, warga Desa Mengkang pun di tiap bulan secara sukarela memberikan imbalan. Minimal iuran yang harus dibayar Rp 10 ribu per bulan. 

Uang yang terkumpul digunakan bagi pembiayaan perawatan pembangkit listrik. Hasil donasi dari warga dipakai untuk pembayaran, jika terjadi kerusakan dan peremajaan alat pembangkit listrik.
Hebat ya, desa ini masih sangat menjunjung tinggi nilai budaya Mapalus (gotong royong), padahal yang kian hari sifat hal ini di perkotaan sudah mulai dilupakan oleh banyak orang, telah luntur digempur arus globalisasi. ( )

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN