TAK INGIN MENEMBAK

Tak Ingin Menembak 


SUATU ketika, seorang pria keturunan Aborigin memiliki senapan angin yang baru saja diberikan oleh seorang sahabatnya yang ada di sebuah negara yang ada di eropa sana. 

Walau ia sebagai pria Aborigin dari benua Australia, namun ia sudah puluhan tahun tinggal di perkotaan yang serba budaya metropolis, Kota Sidney, yang dikenal sebagai daerah wisata.

Ia bukan lagi pria yang bergaya hidup suku Aborigin asli, yang suka nomanden dan memegang teguh adat istiadat Aborigin. Dan di suatu kesempatan, ketika hari libur kerja tiba, pria ini pun muncul ide untuk pergi traveling, berjalan-jalan.

Ide yang muncul saat itu adalah pergi ke hutan belantara. Bermodalkan senapan angin, ia tanpa berpikir panjang, langsung bergegas. Meyakini kepergian wisatanya adalah ke hutan.

Dia pergi sendiri ke sebuah hutan yang masih rindang, dimana di tempat ini masih dihuni banyak binatang-binatang buas, tumbuhan tumbuh subur, asri dan merindang. 

Menembak dari jarak dekat tetapi tidak kena sasaran (sketsa by budi susilo)

Hutan yang dituju adalah hutan yang berlokasi di arah barat dari kediamannya. Jarak tempuh melalui jalur darat ke hutan mudah digapai, tak terlalu sulit harus mendapat rintangan berupa penghadangan aksi perampokan dan tantangan jalanan rusak berlubang.  

Setiba di komplek garis batas masuk hutan, dia pun turun dari mobilnya yang bertipe Jeep. Sebab untuk masuk ke komplek hutan, medan jalannya ditumbuhi banyak pohon dan berpola cadas. Sehingga sangat sulit mobil kesayangannya itu melaju di hutan. 

Dia keluar, lalu langsung menutup pintu mobilnya. Kedua matanya pun memandangi alam hutan. Kepalanya pun menolah kesana-kemari untuk menikmati hijaunya hutan. “Uhhh, segar sekali disini,” ujarnya. 

Tanpa rasa takut, dia langsung masuk, blusukan ke pedalaman hutan. Dia hanya menenteng senjata dan menggendong sebuah tas punggung yang isinya adalah perbekalan air minum, sepotong roti, dan handuk kecil. 

Matahari kala itu bersinar terik. Cuaca yang bersahabat buat dia, merupakan kesempatan emas untuk menjelajah dan 'menyapa' hewan-hewan di hutan. Awan di atas terlihat bak kapas putih tebal, angin yang berhembus pun bertiup sepoi-sepoi, sungguh nikmat perjalanannya. 

Kondisi itu mengingatkan dirinya sekitar di pertengahan tahun 2010 saat masih tinggal di Indonesia, persisnya di Kota Bitung Sulawesi Utara. Ia di tahun ini, pernah datang ke hutan Tangkoko Bitung, untuk melihat-lihat flora dan fauna yang unik, menikmati alam belantara nusantara. 

Di tempat inilah ia pun menyadari akan hakikat hidup yang sesungguhnya. Di hutan Tangkoko, pikiran dan hatinya tercerahkan. Ini di mulai waktu dirinya mencoba untuk berburu hewan-hewan. 

Bermodalkan senapan yang boleh meminjam dari temannya di Amerika Serikat,  dia berniat berburu hewan langka yang ada di hutan Tangkoko, yakni monyet Macaca Nigra. 

Namun niat ini pun runtuh ketika dirinya sudah mencapai perjalanan pertengahan hutan Tangkoko. Tiba-tiba dia menemukan sekeluarga monyet Macaca berkumpul akrab. 

Dia melihat ada monyet yang sedang bercanda bercengkrama, mencari kutu, dan bergelayutan di ranting-ranting pohon. Kejadian inilah yang membuat dia mengurungkan niat untuk menembak monyet Macaca. 

“Tak mau merampas kebahagiaan mereka. Bagaimana bila itu terjadi pada diri saya, ada orang yang mau membunuh keluarga saya, pasti saya merasa sedih. Ah, sudahlah, tak mau menembak mereka,” ujarnya.   

Padahal sebelumnya, dia berkeinginan monyet Macaca itu dibunuh, lalu diberi air keras untuk dijadikan hiasan yang bisa dijual ke kolektor dengan harga yang super melangit.

Sejak itulah, dia tak rakus. Dia tak ingin mengejar kebahagiaan diri dengan menonjolkan sikap serakah, merampas hak-hak hidup makhluk lain. Ia percaya, hukum alam itu ada. Siapa yang berani menanam bibit, maka dia pula yang nanti akan memanennya.

Nah, pengembaraannya di hutan belantara Australia tersebut, dia membawa senjata senapan angin lebih difungsikan kepada untuk perlindungan tubuh, bila dirinya mendapat serangan dari hewan-hewan buas. 

Dia membawa senjata bukan untuk tujuan merusak kehidupan hutan. “Tak mau nembak hewan secara sembarangan, supaya keseimbangan hidup tetap terjaga,” tekadnya. ( ) Cerita fiksi


Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN