TUKINO KEMAKAN ASUMSI

Tukino Kemakan Asumsi


BELUM ada keputusan sidang isbat, bedug di mushollah itu sudah menguap. Suara bedugnya tak melengking. Namun bernada ngebas, dag dig dug, dapat terdengar hingga di jarak 10 meter. 

Yah, mirip suara petasan teko, punya suara yang juga ngebas, meski kekuatan suaranya lebih berdaya dan kuat menggelegar, sampai dapat menjangkau di jarak 10 meter lebih.

Kesan inilah yang dirasakan oleh seorang pria berumur sebaya, bernama Tukino. Usai terbangun dari tidur siang yang lelap, tak sampai semenit tinggalkan ranjangnya, sontak ia dikejutkan bunyi bedug itu. 

“Aduh, sudah ada yang sibuk pukul-pukul bedug nih. Ini orang benar-benar ‘curi start’ takbiran kali ya, belum ada pengumuman resmi Idul Fitri udah duluan aja,” batinnya. 

Padahal anggapan Tukino hari itu masih sore. Hari belum malam, apalagi telah masuk waktu pagi buta. Mataharinya saja masih tampak terlihat, sinarnya berwarna kuning kemerah-merahan, masih mampu menerangi lorong-lorong jalanan.

(sketsa by budi susilo)

Rumah Tukino memang sangat dekat dengan mushollah. Rumahnya yang beratap asbes terbilang sederhana, tanpa harus pakai antena parabola, bagi Tukino seperti istana negara, sudah hampir puluhan tahun Tukino tinggal di rumah hasil warisan orang tuanya.

Kali itu, cek punya cek, di layar kaca televisi milik Tukino, seluruh stasiun televisi belum menyiarkan cuplikan berita secara langsung mengenai gelaran sidang isbat di Kementrian Agama Republik Indonesia. 

Satu chanel televisi yang ini, baru tayangkan acara program dakwah agama Islam. Televisi yang itu, hidangkan hiburan sinetron, dan televisi yang lain juga sama, sementara televisi yang ini, siarkan berita arus lalu-lintas para pemudik.

“Ada apa ini bang, kok tampaknya lagi bingung, linglung, seperti orang pusing tujuh keliling aja,” tanya Tuti, adik perempuan Tukino, yang merasa prihatin melihat kakaknya lagi galau.

“Kalau nonton tivi konsentrasi satu chanel aja bang. Kok sebentar-sebentar pindah chanel. Sebentar-sebentar pindah chanel, emang mau nyari apa sih,” kata Tuti lagi dengan rasa penasaran.

“Bingung aja, di mushollah udah ramai-ramai pukul bedug. Padahal di televisi, pemerintah belum resmikan lebarannya. Lihat tuh di tivi, mana belum ada pengumuman dari pemerintah toh,” sewot Tukino, jari jemarinya sambil memencet-pencet remote tivi.

“Ya kalau gitu mereka tegur aja bang. Bilangin ke mereka jangan pukul bedug, belum waktunya takbiran. Bilangin tunggu pengumuman dari pemerintah dulu, baru deh ngerayakan takbiran,” tutur Tuti.

Usai mendengar usulan dari adiknya, Tukino yang hanya berpakaian kaus oblong dan bawahan sarung, langsung bergegas menuju mushollah. 

“Ya udah, abang mau ke mushollah dulu. Mau tegur mereka. Kamu tunggu di rumah aja yah,” katanya dengan langkah cepat, keluar rumah.

“Ya bang, tapi bilanginnya santai aja ya. Jangan pakai emosi, jangan sampai bikin ribut bang. Bilanginnya slow aja,” teriak Tuti, yang berusaha menyemangati dan menasehati secara bijak. “Siap,” sahut Tukino dari kejauhan. 

Dengan beralaskan sandal jepit karet, Tukino berjalan cepat bak atlet gerak jalan menuju mushollah yang bernama Al Jannah, seperti nama surganya Allah yang termahsyur. 

Tanpa terganjal bebatuan krikil dan rintangan kubangan tanah becek, Tukino hanya habiskan waktu jalan kaki tak lebih dari dua menit untuk tiba di mushollah yang berdiri di atas tanah hasil wakaf seorang keturunan suku Bugis.  

Assalamualaikum !. Tumben, ramai sekali sore ini,” sapa Tukino kepada orang-orang yang ada di mushollah. “Walaikumsalam bang,” sahut mereka dengan kompaknya.

Mau tanya nih. Waktu ramadhan memangnya sudah usai. “Besok sudah lebaran ya,” tutur Tukino, sambil mencari tempat duduk yang asik. 

Spontan usai mendengar pertanyaan itu, sang penabuh bedug yang berpawakan tinggi besar langsung berhenti, tak lagi memainkan dendang bedug. Seketika itulah, wajah sang penabuh bedug pun langsung menatap wajah Tukino. 

“Jadi begini bang,” jelasnya. Kami disini berkumpul memainkan bedug karena sedang latihan untuk menghadapi perlombaan pukul bedug indah tingkat kelurahan yang akan digelar seminggu setelah Idul Fitri. 

Berhubung waktu sudah dekat, makanya kami disini berlatih keras. Masing-masing dari kami harus berusaha belajar pukul bedug indah, supaya di saat momen pertandingan nanti, kami semua bisa lancar, sudah terbiasa menguasai bedug-bedug.

“Ya, doa-kan kami saja bang, supaya kampung kita nanti bisa juara pukul bedug tingkat kelurahan. Kalau juara pasti kampung kita akan dikenal banyak orang bang. Kan bangga dong,” celetuk temannya yang satu. 

Wow bagus juga tuh,” komen singkat Tukino. Dikira kalian semua memukul bedug karena ingin mengumandangkan bahwa kalau lebaran telah berlangsung detik ini juga. 

Ah, memang kalau hanya mengandalkan asumsi bisa bikin sesat, sangat menyesal. Kalau begitu, memang harus mengandalkan fakta lapangan,” aku Tukino. 

Dan semua orang pun, yang ada di mushollah kebingungan, merasa terheran-heran atas ucapan bijak yang keluar dari mulut Tukino itu. 

Lalu dilanjutkan lagi, bedug kembali dipukul-pukul, menghasilkan irama yang indah sampai di waktu maghrib tiba. ( ) cerita fiksi 

    


Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN