KISAH WARGA DESA PA DELUNG NUNUKAN

Semasa Kecil 
Tak Pernah Menonton Televisi
Bagi mereka yang lahir dan bertempat tinggal di Desa Pa Delung tidak bisa merasakan tontonan televisi. Sampai sekarang, yang telah menginjak tahun 2015, warga yang tinggal di desa ini belum juga bisa menikmati televisi.

Itulah kutipan kisah pengalaman yang dialami oleh Marthen Sablon, sebagai anak yang lahir di Desa Pa Delung, yang kini menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan Utara.

Secara geografis, Desa Pa Delung berada di Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara. Marthen merasa desanya masih terisolir, seakan sebagai wilayah negeri antah berantah. 

Maklum saja, desa-desa yang berada di perbatasan dengan negara tetangga, identik dengan kehidupan belantara, tiada berpenghuni, laju pembangunannya sangat jauh berbeda dengan kehidupan yang ada di dekat pusat ibukota. 

“Belum bisa nonton televisi. Tidak ada listrik. Kalau mau nonton televisi memakai tenaga aki. Tapi tidak bertahan lama, dan saluran televisinya banyak dari Malaysia,” ungkapnya saat bersua dengan saya, pada Rabu 19 Agustus 2015 siang di ruang kerjanya, Jalan Kolonel Soetadji, Tanjung Selor.

Semasa kecil, ingat Marthen, dirinya tidak pernah menonton televisi. Kehidupan masa kecilnya bersama teman-teman sebayanya di Desa Pa Delung, hanya disi dengan bermain di alam bebas, di pematang sawah, di sungai-sungai, atau naik di perbukitan yang hijau rindang.

Berkumpul bersama warga Dusun Kenarai Desa Mara Satu Kecamatan Tanjung Palas Barat Kabupaten Bulungan Provinsi Kalimantan Utara pada Selasa 18 Agustus 2015. Perkampungan yang ingin menjadi desa ini juga masih sulit mendapat sambungan baru jaringan listrik dari Perusahaan Listrik Negara. (photo by maman)
 
Kini, Marthen dewasa sudah berkantor di Tanjung Selor, ibukota Provinsi Kalimantan Utara, menjadi wakil rakyat, yang akan memperjuangkan masyarakat desa di wilayah perbatasan. “Daerah yang masuk di negara Malaysia lebih maju dari kami,” ujar pria kelahiran 5 Oktober 1958 ini.    

Ironis, desa-desa di wilayah perbatasan yang masuk dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia lebih memilih barang belanja dari negara Malaysia, karena barangnya murah meriah jika dibandingkan dengan produk buatan dalam negeri, Indonesia.

Saat dirinya menjalani reses pada Agustus lalu di Kecamatan Krayan, dirinya mengusulkan ke Pemerintah Provinsi Kaltara. Di antaranya, warga ingin ada pembangunan jalan dan jembatan yang layak agar tidak lagi ada keterisolasian dan membangun pembangkit listrik tenaga air. “Daerah Karayan banyak sungai-sungai yang bisa berpotensi sebagai sumber energi listrik,” kata Marthen. 

Karena itu, dia pun sangat berharap, kepada pemerintah provinsi dan pemerintah pusat untuk memperjuangkan daerah-daerah perbatasan yang dinilai masih dalam keterbelakangan, meskipun secara tata letak berada terdepan di garis Negara Kesatuan Republik Indonesia. ( )
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN