NASIB TRANSMIGRAN BULUNGAN

Nasib Transmigran Bulungan

Gelaran karpet tanah liat membentang di kawasan Satuan Permukiman Dua, Desa Tanjung Buka, Kecamatan Tanjung Palas Tengah, Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara, yang kala itu cuaca sedang bersahabat, cerah.

PERKAMPUNGAN transmigran itu jalan-jalannya belum beraspal, hanya tumpukan tanah liat yang difungsikan sebagai jalur lalu-lintas perdesaan. Lebar jalannya sekitar tujuh meter, bisa memuat dua kendaraan roda empat.

Kondisi itu merupakan cerminan yang mengental di sebagian kehidupan orang-orang transmigran Bulungan, saat saya datang berkunjung pada pertengahan Juli 2015 silam, bersama rombongan Bupati Bulungan.


Tidak hanya itu. Ternyata, sudah hampir tiga tahun lebih, perkampungan tersebut belum difasilitasi infrastruktur listrik. Bagi mereka yang ingin menikmati energi listrik, mesti modal sendiri membeli mesin genset, listrik berbahan bakar bensin.

Bahkan, sebanyak tujuh UPT transmigrasi di Kabupaten Bulungan pada tahun 2015 masih mengalami keterbatasan energi listrik. Ini terungkap pada data yang dihimpun oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Bulungan.

Dijelaskan, tujuh lokasi itu semuanya berjumlah 1800 kepala keluarga, yang masuk dalam lapisan masyarkat ekonomi ke bawah, dengan mata pencaharian sebagai petani.

Tugu Putri Lemlai Suri ini merupakan ikon dari Tanjung Selor yang telah dinobatkan sebagai Ibukota Provinsi Kalimantan Utara. Biasanya orang sering menyebut tugu telur pecah, padahal simbol ini yang sebenarnya adalah bernama tugu Putri Lemlai Suri, yang dianggap sosok legenda nenek moyang di Tanjung Selor Bulungan. (Photo by budisusilo)
 
Banyak yang menganggap, masyarakat transmigran itu kelas masyarakat menengah ke bawah, hidup dalam keterbatasan. Mereka datang banyak dari luar Kabupaten Bulungan, dengan latar belakang ekonomi lemah, didatangkan dari pulau Jawa dan Sulawesi.

Soal eksistensi program transmigrasi di perbincangan masyarakat masih terjadi pro dan kontra. Mereka yang pro, menilai transmigrasi itu mewujudkan pemerataan kependudukan dan menumbuhkan dinamika wilayah.

Sedangkan mereka yang kontra, transmigrasi dianggap sebagai ancaman bagi kearifan lokal setempat dan menambah jumlah kemiskinan di kabupaten yang bersangkutan.

Namun bila kita mengacu pada Undang-undang Nomor 29 Tahun 2009 mengenai perubahan atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian, menyebutkan, tujuan transmigrasi itu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, peningkatan dan pemerataan pembangunan, serta memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa.

Saat itu, saya menghadiri simposium Optimalisasi Sumber Energi Kalimantan Utara, yang digelar di Serba Guna kantor Bupati Bulungan, Jalan Jelarai, pada Rabu 30 September 2015.

Sebagai pembicara ialah, Wanhar, Kasubdit Penyiapan Program Tenaga Listrik, Penataan, Pembinaan Program Ketenaga Listrikan Kementrian Energi Sumber Daya Mineral Republik Indonesia

Dia waktu itu mengungkapkan, umumnya keberadaan jaringan listrik di pemukiman transmigrasi masih jauh dari harapan. Masih menggunakan lampu penerangan dari petromak. Sebagai solusi, ujar Wanhar, sebaiknya dibuat terobosan teknologi yang berbasiskan pada energi alternatif, seperti di antaranya menggunakan matahari dan angin.

“Pembangunan ketenagalistrikan selalu diupayakan untuk tujuan menjamin ketersediaan listrik yang cukup, berkualitas baik dengan harga yang wajar supaya ada peningkatan kemakmuran,” tuturnya.

Pengakuan Bambang Widyatmiko, Kasubdit Fasilitasi Penetapan Kawasan Direktorat Jendral Penyiapan Kawasan dan Pembangunan Permukiman Transmigrasi, Kementrian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia, menjelaskan, sudah ada daerah transmigran yang mendapat bantuan listrik tenaga surya.

Satu di antaranya, di daerah Simpang SP3 Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan dan Kumai Seberang Kabupaten Lamandau Provinsi Kalimantan Tengah.

Bambang berharap, pemerintah daerah berkontribusi dalam penyediaan ketenagalistrikan surya karena bisa digunakan secara individu. Di kawasan transmigrasi, pembangunan pembangkit listrik tenaga surya baru menjangkau 42 persen pemukiman transmigrasi binaan.

Berangkat dari itulah, setidaknya program transmigran jangan digelar secara asal-asalan. Ironis, transmigrasi itu untuk memecah persoalan kemiskinan, tetapi sebaliknya menindahkan orang-orang miskin di daerah lain.

Sebaiknya, sebelum sebuah wilayah dijadikan lokasi transmigrasi, pemerintah pusat maupun daerah menyiapkan perencanaan hebat, satu di antaranya menyediakan infrastruktur yang memadai seperti energi listrik, saluran irigasi, bangunan jalan dan jembatan agar jalur distribusi hasil-hasil pertanian dan peternakan bisa tergarap baik.

Selama ini, pemerintah hanya menyediakan lahan tidur beserta rumah kayu yang seadanya, yang bangunannya tidak akan bertahan lama usianya. Selangkah lebih maju pernah terjadi pada transmigran di Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo, pemerintah daerahnya turut berpartisipasi memberi bantuan pembangunan rumah beton.

Sekarang berharap pada pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla, mengubah konsep transmigran yang diserahkan pada pemerintah daerah tingkat kabupaten, dimunculkan dari tingkat bawah ke atas. Kesempatan inilah menjadi momentum mengejar kemajuan masyarakat perdesaan.

Sebelumnya, gaya pelaksanaan transmigrasi bermuara pada pemerintah pusat, yang semuanya lebih mengacu pada kepentingan pemerintah pusat dengan menomor duakan prinsip pengembangan wilayah yang berbasiskan pada kematangan permukiman penduduk.

Benarkan ramuan itu akan berhasil menggiring pada kegemilangan yang sentosa bagi masyarakat transmigran. Mari kita nantikan, seperti apa hasilnya, era pemerintahan kabinet kerja ini.    

Percepat Pembentukan Kotamadya
Upaya memenuhi persyaratan jumlah penduduk dalam pemekaran daerah Tanjung Selor, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bulungan akan mengambil solusi dengan mendatangkan orang dari luar melalui program transmigrasi.

Penjabat Bupati Bulungan, Syaiful Herman, menuturkan, transmigrasi adalah pilihan alternatif untuk mempercepat pemenuhan persyaratan jumlah penduduk. “Mau bagaimana lagi. Peraturan mengatur harus ada syarat minimal jumlah penduduk,” katanya usai memberi sambutan di acara Sosialisasi Pemekaran Desa dan Kelurahan dalam Wilayah Kabupaten Bulungan, pada Kamis 1 Oktober 2015.

Syaiful menjelaskan, Kecamatan Tanjung Selor dijadikan kotamadya tentu saja mesti dilakukan pemekaran kecamatan lagi. Yang masih ada desa dijadikan kelurahan. Sementara yang sudah jadi kelurahan dimekarkan lagi jadi beberapa kelurahan.

Ia merinci, pemekaran daerah itu tidak semudah yang dibayangkan, butuh proses. Satu di antaranya mesti memenuhi syarat minimal jumlah penduduk. “Mau jadi kotamdya minimal harus ada empat kecamatan. Sekarang kita butuh penduduk untuk memekarkan jadi empat kecamatan,” katanya.

Karena itu, dia pun menginstruksikan kepada para camat hingga lurah untuk semaksimal mungkin melakukan pemekaran daerah, demi mewujudkan kotamdya Tanjung Selor.

“Kita pelajari saja dahulu, dimana kelemahannya. Kita siapkan dasar-dasarnya. Lalu nanti kita koordinasikan dengan pemerintah provinsi. Kita kerja dahulu apa yang kita bisa, sebelum nanti ada gubernur defenitif,” ujar Syaiful.

Sebenarnya, ungkap dia, pilihan transmigrasi masih bisa diperdebatkan. “Saya tahu di tengah masyarakat, transmigrasi itu masih ada yang pro dan kontra,” katanya. Dan kalau pun tidak bisa, mungkin akan dilakukan upaya permohonan ke pemerintah pusat.

“Kita berharap Tanjung Selor mendapat pengecualian. Diberi pertimbangan-pertimbangan, tidak harus memenuhi syarat penduduk. Nanti bisa kita coba. Kita tunggu gubernur defenitifnya,” tuturnya. ( )


Pemberian PLTS Kawasan Transmigran Kalimantan 2014
1.    Kalimantan Barat Kabupaten Kapuas Hulu
2.    Kalimantan Barat Kabupaten Kayong Utara
3.    Kalimantan Tengah Kabupaten Lamandau

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN